Nice post (taken from: http://finny-pensiska.blog.friendster.com/2008/08/love-is-from-best-friend-ardi/)
Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di hati saya ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.
Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-2 saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-2 sensitif serta berperasaan halus.
Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan
permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.
Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian. “Mengapa?”, diabertanya dengan terkejut. “Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan”
Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah
sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah,
seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang
bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat saya
lakukan untuk merubah pikiranmu?”. Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab
dengan pelan, “Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di
dalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya: Seandainya, saya menyukai
setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu
memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?”
Dia termenung dan akhirnya berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.” Hati
saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada
dirumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-2an tangannya dibawah
sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan….
“Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk
menjelaskan alasannya.” Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya
lanjutkan untuk membacanya. “Kamu bisa mengetik di komputer dan selalu
mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor, saya harus
memberikan jari-2 saya supaya bisa membantumu dan memperbaiki
programnya.”
“Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah,
dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan
pintu untukmu ketika pulang.”.
“Kamu suka jalan-2 ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu
kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata saya untuk
mengarahkanmu.”
“Kamu selalu pegal-2 pada waktu ‘teman baikmu’ datang setiap
bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.”
“Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi
‘aneh’. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau
meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami.”
“Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan
matamu, saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih
dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu.”
“Tanganku akan
memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan
pasir yang indah. Menceritakan warna-2 bunga yang bersinar dan indah seperti
cantiknya wajahmu”.
“Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu
untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi
kematianku.”
“Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu
lebih dari saya mencintaimu.”
“Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku tidak cukup
bagimu, aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang
dapat membahagiakanmu.”
Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi
saya tetap berusaha untuk terus membacanya.
“Dan sekarang, sayangku, kamu
telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan
tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah
kita, saya sekarang sedang berdiri disana menunggu
jawabanmu.”
“Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku,
dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau
bahagia.”.
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah
penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku. Oh, kini saya
tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia
mencintaiku.
Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati
kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita
inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak
pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan
mengharapkan wujud tertentu. Karena cinta tidak selalu harus berwujud
“bunga”.
********************************************************
Artikel ini ditujukan untuk para istri yang mungkin pernah mengalami hal yang sama. Ketika belum menikah, saya hanya tersenyum simpul saat membacanya.